PANTAU.CO.ID, Kabupaten Tangerang - Kasus dugaan pencabulan terhadap seorang anak di Kampung Hauan, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, menjadi sorotan tajam publik. Tersangka, Sg, yang merupakan bendahara masjid sekaligus karyawan PT. EDS Manufacturing Indonesia (PEMI), diduga melakukan tindak pencabulan terhadap seorang anak pada 30 November 2024. Namun, setelah lebih dari dua minggu laporan dibuat, keluarga korban merasa bahwa proses hukum berjalan lambat, dan intervensi dari pihak tertentu semakin memperburuk situasi.
Keluarga korban, melalui pernyataan tegas Ustadz MM, ayah korban, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Kepala Desa Tobat, yang diduga berpihak pada pelaku. Alih-alih mendukung upaya penegakan hukum, Kepala Desa malah berusaha mendamaikan kedua pihak. Tindakan ini jelas mencederai semangat keadilan, apalagi dalam kasus yang menyangkut kejahatan berat seperti pencabulan anak. “Kepala desa seharusnya mendukung proses hukum, bukan memediasi perkara pidana,” ujar Rizal Ketua Ylpk Perari Provinsi Banten, mengingatkan bahwa ini bukanlah masalah sepele.
Kasus ini terungkap berkat keberanian seorang teman korban yang melaporkan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Setelah mendapat tekanan, korban akhirnya mengakui tindakan bejat pelaku yang memberikan susu kotak sebelum membawanya ke kamar. Bahkan, korban menyebutkan adanya ancaman yang membuatnya takut untuk melapor lebih cepat. Keberanian anak ini seharusnya diapresiasi, namun penanganan kasus oleh pihak yang berwenang justru meresahkan banyak pihak.
Polres Tangerang menerima laporan keluarga korban dengan nomor LP/B/1202/XII/2024/SPKT pada 16 Desember 2024, namun keluarga merasa kasus ini lambat diproses. Dugaan adanya intervensi dari Kepala Desa Tobat semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. “Kami kecewa, karena kami merasa ini lebih dari sekedar persoalan keluarga. Ini adalah kejahatan yang harus ditindak tegas,” tambah keluarga korban, yang menuntut agar Polres Tangerang segera mengambil langkah tegas.
Dalam penuturan keluarga korban, pelaku awalnya menyangkal perbuatannya saat dikonfrontasi. Namun, tak lama kemudian ia mengaku telah melakukan perbuatan cabul selama tiga minggu. Pelaku bahkan sempat meminta agar kasus ini tidak dibesar-besarkan dan meminta maaf kepada keluarga korban. Meskipun demikian, keluarga korban tetap berpegang pada prinsip keadilan dan menuntut agar kasus ini diproses secara hukum.
Tindakan Kepala Desa yang berusaha mendamaikan kedua pihak, menurut keluarga korban, adalah bentuk ketidakpedulian terhadap hak korban. Sebagai aparat yang seharusnya mendukung keadilan, Kepala Desa malah terkesan melindungi pelaku, menciptakan rasa ketidakadilan yang dalam bagi keluarga korban. Kasus ini menjadi bukti bahwa meskipun korban telah berani melaporkan, namun kekuatan hukum yang lamban dan pengaruh lokal yang besar dapat menghambat upaya penegakan hukum.
Ustadz MM, sebagai orang tua korban, mengingatkan bahwa dalam hukum Islam pun, meskipun ada ruang untuk memaafkan, namun keadilan harus ditegakkan tanpa kompromi. Proses hukum, menurutnya, adalah jalan yang tidak boleh terhambat oleh pertimbangan pribadi atau intervensi pihak-pihak tertentu.
Kasus ini menyisakan tanda tanya besar di mata publik. Mengapa pihak yang berwenang, baik Polresta Tangerang maupun Kepala Desa Tobat, terkesan lamban dan berbelit-belit dalam menangani dugaan pencabulan anak ini? Setiap pihak yang memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak harus bertindak tegas, tanpa memediasi atau mengesampingkan keadilan demi kepentingan pihak tertentu. Keluarga korban berharap agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini dan tidak membiarkan dugaan intervensi yang dapat merugikan hak korban.
Dengan begitu, kasus ini menjadi ujian besar bagi aparat penegak hukum di Kabupaten Tangerang, khususnya Polresta Tangerang dan Kepala Desa Tobat. Masyarakat menunggu kejelasan dan ketegasan dari pihak berwajib agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
>>Hadijah
0 Comments