Jakarta | Pantau | The Habibie Center kembali menggelar forum tahunan, Habibie Democracy Forum dalam rangka memperingati ulang tahunnya ke-25 dengan tema besar “Memperkuat Ketahanan Demokrasi: Memajukan Governansi Inklusif dan Partisipasi Warga Negara yang Bermakna.” Kegiatan diawali dengan pidato kebangsaan Mahfud MD dengan tema yang senada, “Pemberdayaan Warga Negara dengan Hukum yang Inklusif untuk Memperkuat Ketahanan Demokrasi yang Adil dan Merata di Indonesia.’
Dalam pidatonya, Mahfud MD menyampaikan demokrasi dan hukum memiliki keterkaitan yaitu kedaulatan rakyat tidak akan berjalan baik jika tidak diimbangi kedaulatan hukum. Sedangkan hukum tanpa demokrasi merupakan kedzaliman dan demokrasi tanpa hukum akan menjadi anarkis.
"Demokrasi dan hukum kita masih berjalan secara prosedural dan kehilangan sukmanya. Hal ini, dipengaruhi hegemoni dan manipulasi kekuasaan yang membuat rakyat tidak berdaya mempertahankan hak-haknya," ujarnya.
Lanjutnya, Indonesia digolongkan sebagai demokrasi yang cacat dan negara hukum yang konservatif (jauh dari inklusif) atau dengan kata lain penegakan hukumnya masih sangat lemah.
Hal ini berpengaruh pada lemahnya investasi asing yang masuk, dikarenakan tidak adanya kepastian dan transparansi hukum, serta maraknya korupsi dan conflict of interest.
"Jika supremasi hukum ditegakkan, maka kita sudah membenahi 44% aset negara. Hal ini membutuhkan komitmen, leadership, dan ketegasan presiden untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia," jelasnya.
Acara dilanjutkan dengan panel kebangsaan yang diisi pemateri Julian Aldrin Pasha, Ketua Institut untuk Demokrasi dan HAM The Habibie Center; Bivitri Susanti, S.H., LL.M, Anggota Pokja Reformasi Perundang-undangan TPRH; Sandrayati Moniaga, S.H., Komisioner Komnas HAM RI periode 2013-2022; dan Fiona Wiputri, Manajer Multimedia Konde.co.
Tema yang diangkat dalam panel kebangsaan ini yaitu "Desentralisasi Governansi Inklusif, dan Partisipasi Warga Negara yang Bermakna menuju Masyarakat yang Berbudaya."
Dalam paparannya, Julian menyampaikan bahwa desentralisasi akan memfasilitasi governansi inklusif.
Sebagai contoh, di negara India memiliki panchayati raj dimana pemerintah memberikan kekuasaan dan otonomi kepada desa.
Selain itu, India memiliki hak untuk meminta informasi untuk kegiatan dan pengeluaran oleh pemerintah.
Begitupun dengan negara Brazil yang memiliki kontrol anggaran yang didedikasikan untuk pemerintah lokal atau daerah, dan pengalokasian dana yang menggunakan partisipasi warga.
Di German, mereka mempunyai pembagian kekuasaan yang menghasilkan salah satunya lembaga audit independen.
Serta di Filipina mempunyai _local government code_ dan lebih maju dalam pengaplikasian teknologi untuk penyaluran informasi publik.
Berbanding terbalik dengan Indonesia, _political will_ sangatlah lemah dalam mengatasi berbagai permasalahan.
Semua akan berjalan jika ada transparansi yang dimulai dari bawah (desa) dan dipublikasikan agar meminimalkan korupsi.
Bivitri Susanti menegaskan pentingnya partisipasi dalam demokrasi, karena tanpa partisipasi demokrasi hanya cangkang saja. Democracy index untuk Indonesia dalam parameter budaya politik dan kebebasan sipil masih sangat rendah.
Bivitri menambahkan penyelenggara negara harus mendengarkan masyarakat dalam pembentukan kebijakan, karena partisipasi masyarakat sangat penting.
Menurut MK, harus ada 3 syarat untuk partisipasi yaitu hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan jawaban atas pertimbangan. Dalam hal ini, yang berpartisipasi adalah masyarakat yang terdampak bukan akademisi," tandasnya.
Hal senada disampaikan Sandrayati Moniaga, partisipasi yang bermakna mempunyai dampak positif terhadap negara hukum, perjuangan hak, dan hukum.
Partisipasi bermakna dapat dimulai dari pemetaan lahan adat, dan lain-lain. Yang menjadi tantangan terbesar saat ini adalah oligarki dan intimidasi.
Salah satu contoh adalah elit daerah berkolaborasi dengan elit nasional untuk mencabut hak-hak warga negara.
Tidak sampai di situ, ruang demokrasi yang coba dibangun oleh reformasi dikuasai elit lokal yang juga bagian dari sistem yang anti demokrasi.
Secara garis besar dapat disimpulkan, demokrasi dan hukum di Indonesia saat ini masih prosedural belaka dan kehilangan substansinya.
Demokrasi yang substansial mensyaratkan adanya partisipasi yang bermakna dan desentralisasi kekuasaan ke tingkat paling bawah, dimana masyarakat dapat terlibat, didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, sehingga tercapai inklusivitas dalam tata kelola pemerintahan dan pembentukan regulasi.
Untuk mendorong upaya ini, dibutuhkan kekuatan gerakan masyarakat sipil yang berdaya dan terkonsolidasi dengan pelibatan media sebagai pilar demokrasi bangsa. (*)
0 Comments