PANTAUTERKINI.CO.ID, Pemilu 2018 akan diselenggarakan sebentar lagi. Berbagai upaya dilakukan oleh partai dan politisi demi mendongkrak elektabilitas mereka menjelang pesta demokrasi. Upaya mendongkrak elektabilitas tersebut diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Misalnya dengan mengiklankan diri melalui tayangan televisi, kampanye online, melakukan gerakan sosial, hingga praktik kotor penerapan politik uang.
 

Hampir setiap lima tahun sekali masyarakat Indonesia dihadapkan pada polemik pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari Pilihan Bupati (Pilbup), Pilihan Gubernur (Pilgub) hingga Pilihan Presiden (Pilpres). Teriakan Yel Yel mendukung salah satu Pasangan Calon (Paslon) tampak marak dari berbagai sudut alun alun Kabupaten ataupun Kota. Sadar tidak sadar wajah wajah mereka tampak guratan keterpaksaan berteriak demi sebuah kepentingan dan hanya sebagian dari peneriak Yel yel tersebut ikhlas tanpa daya.
 

Kampanye terselubung dengan menyisipkan kegiatan bagi-bagi duit sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di republik ini. Entah pemilihan kades, bupati, caleg, bahkan presiden, politik uang dianggap sebagai bagian yang wajar. Selain itu, karena dianggap sebagai strategi yang optimal untuk menjaring suara, politik uang pun menjadi rutinitas yang semakin akrab dikalangan politisi dan masyarakat.
 

Wilayah Kabupaten dan Kota Tegal yang tahun ini 2018 tepatnya 27 Juni nanti akan mengikuti Pilkada serentak baik PilBup – PilGub –dan Pilpres. Tiga Pasangan Calon Bupati, Dua Pasangan Calon Gubernur menjadi perdebatan seru hingga pergunjingan di pojok pojok warung sampai perempatan jalan,
 

Sungguh Ironis Pesta Demokrasi yang merupakan menjadi ajang pesta masyarakat untuk menentukan siapa pilihannya justru terkadang tercoreng oleh beberapa oknum yang justru memiliki peranan dalam pesta demokrasi, tak hanya itu mereka (red- Paslon) rela menginap dan menyambangi warga desa yang berkehidupan minus perekonomian sebagai bentuk perwujudan kepedulian, berbagai tawaran dari mulai barang hingga perbaikan rumah ditawari guna menarik simpati saat pencoblosan nanti.
 

Gambaran seperti ini semakin banyak terjadi di saat pemerintah bekerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum serta instansi terkait, semakin gencar teriakan “Awas Politik Uang” membuat para team sukses harus bekerja ekstra mencari kreatifitas dan ide baru, bahkan diberbagai wilayah justru mengalihkan untuk tidak menerima uang namun dengan memberikan cindermata atau sekedar kenang kenangan terutama kaum perempuan menjadi sasaran utama pilkada 2018.
 

“ Pemilihan Kepala Daerah tahun ini, kami banyak menerima kerudung sampai sembako berbeda dengan saat pilkada tahun 2014 lalu, ujar Rukmini nama samara warga yang kerap mendapat undangan giat acara perkenalan para paslon di wilayahnya.
 

Politik uang tidak hanya diartikan dalam bentuk uang, tetapi juga materi lain berupa bingkisan,sembako atau suvenir bahan kampanye lain yang jumlahnya melebihi Rp 25.000. dan biasanya kaum wanita wanita yang banyak menjadi sasaran para oknum berkepentingan tersebut selain masyarakat yang notabene nya memiliki pengetahuan rendah tentang politik cenderung tidak kritis dalam menanggapi persoalan ini, yang tampak dalam benak mereka hanya Uang, padahal jika kita telisik jumlahnya tak seberapa  dibandingkan focus mereka terhadap calon pemimpin yang mereka pilih dalam membangun serta memperbaiki kondisi pemerintahan dalam jangka panjang.
 

Berkaca dari masyarakat dan fenomena jaman Now membuat kita bisa melihat bahwa pendidikan politik di Indonesia saat ini belum menyentuh pada seluruh lapisan masyarakat. Kurangnya kesadaran ini mengakibatkan masyarakat menjadi abai terhadap peningkatan kualitas politik di masa yang akan datang.  Sikap masyarakat yang membenarkan politik uang demi perbaikan fasilitas merupakan bukti dari keputusasaan mereka. Seakan masyarakat merasa bahwa tidak ada cara lain untuk meningkatkan fasilitas setempat kecuali dengan memanfaatkan momentum pemilu ini alias aji mumpung.
 

Hampanya suara desing motor, arak arakan peserta kampanye serta Yel Yel sepanjang jalan mendukung salah satu paslon mulai tak terdengar marak, entah lah mungkin karena anggaran yang tak tersedia dari para paslon, namun yang jelas demi menjaga suasana kondusifitas yang disesuaikan dengan tema pilkada menuju  “Pilkada Damai 2018” dan penulis  berharap pihak pemerintah serta pihak terkait tetap waspada mencegah bergulirnya politik uang dengan gaya Jaman Now yaitu makna yang sama dengan bungkus yang berbeda.
 

Selanjutnya penulis juga berharap pemerintah bersama pihak terkait bekerja ekstra melakukan sosialisasi tata cara penoblosan serta melipat kertas kepada masyarakat secara terus menerus guna menghindari kerusakan kertas suara akibat kurang pahamnya tata cara pencoblosan sehingga dapat merugikan suara paslon.(cahyo/ foto ilustrasi google)