PantauTerkini.co.id, MAKASSAR-Ikatan Keluarga Alumni (IKA)
Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin menggelar diskusi bulanan. Kamis,
(1/2/18) menjadi seri pertama digelarnya diskusi yang mengusung tema “Model
Komunikasi Kepemimpinan Pasca Pilkada”. Tiga pakar yang diundang sebagai
pembicara yaitu Ketua Departemen Komunikasi Unhas, Dr. M. Iqbal Sultan, M.Si,
Pakar Psikologi Pemerintahan Unhas, Dr. Muhammad Tamar, dan Pakar Ekonomi Unhas
Dr. Idrus Taba. Diskusi ini juga dipandu Moderator Dr. Hasrullah, M.Si yang
juga Dosen Komunikasi Unhas.
Bertempat di
Kantor Kapus Pengelola KKN (GPI) Unhas, Diskusi terbatas ini dihadiri para
dosen komunikasi dari berbagai universitas di Makassar, Media, alumni
Komunikasi Unhas, dan mahasiswa.
Pembicara
Pertama, Dr. M. Iqbal Sultan, M.Si menyebutkan ada penelitian yang mengambil
sampel tiga daerah yaitu Jeneponto, Makassar, dan Pare-Pare. Dimana si peneliti
melihat ada ketidakakuran para pemimpin setelah masa Pilkada berakhir. Dari
fenomena ini, kata Iqbal, yang menjadi catatannya yaitu tergerusnya etika dan
kurangnya refleksifitas diri para pemimpin.
Pertanyaannya,
apakah komunikasi menjadi pusat masalah. Iqbal menyebutkan, komunikasi bukanlah
panasea atau obat yang bisa menyembuhkan segala macam masalah. Seharusnya, ada
faktor lain yang bisa dilihat dari konflik pimpinan ini. Faktanya, lanjut
Iqbal, para pasangan ketika maju di pilkada, hampir semua pasangan tidak
memasangkan dirinya. Tetapi dipasangkan oleh partainya.
Padahal,
tiap partai pengusung itu beda visi misi. Konteks lain, kata Iqbal, komunikasi
itu mengurangi ketidakpastian. Fenomenanya, karena mereka dipasangkan secara
paksa, apalagi pasangan berlatar belakang budaya yang berbeda, mereka tidak
diberi kesempatan mengenal satu sama lain.
“Sama dulu
orang nikah dijodohkan. Kenapa bisa awet, jarang cerai? Karena kalau mereka
bertengkar, ada orangtua yang menjadi perekat. Tapi beda dengan situasi pilkada
ini. Kalau Kepala dan Wakil bertengkar, partai politik malah ambil orangnya
masing-masing. Parpol tidak merekatkan,” jelas Kadep Komunikasi Unhas ini.
Harusnya,
lanjut Iqbal, calon itu mencari pasangannya sendiri supaya gampang mencari yang
visi dan misinya sama. Dalam komunikasi, ada dua konsep penting yaitu kesamaan
dan pemahaman. “Pada konteks pemahaman, setiap kita tidak ada orang yang sama
persis, tapi tidak mau paham. Itu yang kurang di aktor politik kita,” tambah
Iqbal.
Menurutnya,
ada persoalan pada bagaimana menempatkan diri, toleransi yang harus dipahami
oleh yang lainnya tanpa harus ditegur. “kita tidak pernah baca konteks
interaksi, ada konteks yang kita lupa,” jelasnya lagi. Untuk itu, Iqbal
menyebut lima poin yang baik dijalankan para pasangan calon Kepala daerah.
Pertama,
dialog dilakukan secara sadar untuk melakukan perbaikan. Kedua, menghargai
keanekaragaman. Tiga, memberikan kewenangan kepada orang lain. Keempat,
mendorong individu untuk menahan diri sendiri dengan tidak merasa diri lebih
baik dari orang lain. Kelima, menilai integritas dan juga apa yang dikatakan
dan dilakukan itu berjalan konsisten.
Pembicara
kedua, Dr. Muhammad Tamar menyebutkan, masalah Pilkada ini karena dua faktor,
yaitu konsep diri dan respek diri. Tamar mengamati dalam hiruk pikuk politik
ini banyak yang tidak tahu diri dan tidak paham konsep diri.
Secara
hakiki, jelas Tamar tiap individu itu berbeda makanya kalau orang tidak paham
dirinya, dia bisa salah perhitungan. Harusnya ada kecocokan antar pribadi. Ada
empat tipe hubungan pemimpin Kepala dan Wakil. Yaitu; parents-parents,
parents-child, child-parents, dan adult-adult. Ada yang bersikap orangtua,
anak-anak. Yang paling bagus yaitu adult-adult. Ada orang yang dewasa secara
umur tetapi tidak mentalnya.
Tamar juga
menyinggung kalau parpol sekarang bukan lagi karena idealisme tapi karena
kepentingan ekonomi. “Parpol itu melihat berapa keuntungan yang dia dapatkan,”
jelas Tamar.
Makanya,
lanjut Tamar, konsep AKU -ambisi-kemampuan-upaya, harus berbanding lurus
dilaksanakan. Selain itu, Tamar juga menilai gaya personal masing-masing
calon.
Masi menurut
Tamar DNA Politik di Indonesia itu bukan DNA Demokrasi tapi kerajaan. Makanya,
penguasa itu selalu takut kehilangan kekuasaannya. “Kita menganut Monarki
Konstitusional. Kalau bicara setara, bukan artinya sama tetapi ada porsi,”
paparnya. Sementara dalam hal respek diri, masing-masing calon biasanya kadar
kepercayaan dirinya berbeda.
Pembicara
ketiga, Dr Idrus Taba berbicara tiga model kepemimpinan. Pertama, mesra
di permukaan. Mesra atau akur karena ada sikap dominan dari salah satu
pimpinan, entah itu Kepala atau wakilnya. Kedua, toleran. Baik kepala maupun
wakil bisa muncul sebagai tolo’ atau jagoan dalam pemerintahan. Ketiga, adalah
pecundang, sikap yang mempecundangi salah seorang di antaranya. Idrus juga
menyinggung adanya persoalan ‘migrasi pebisnis masuk di politik.
Di era
reformasi ini katanya, banyak para pebisnis atau pedagang yang bermigrasi ke
area atau tingkatan struktural dan masuk di ranah politik. Ini yang pada akhirnya
memengaruhi pola berpikir partai yang memperhitungkan untung rugi. Saat ini
juga banyak kita lihat pedagang di Indonesia yang masuk di ranah politik.
“tidak heran kita ini jadi trader. Makanya bukan Leader yang muncul tapi
Dealer. Jadinya politik dagang. Metamorphosis pedagang politik,” papar
Idrus.
Pada Pilgub
kali ini pun begitu, kita lihat bagaimana rekomendasi itu dimainkan.
Idrus
menilai, pemimpin yang bermasalah itu karena tidak punya karakter tapi takut
kalah. Akhirnya apa yang mereka kerjakan biasa-biasa saja, tidak ada hal baru.
Laporan :
Ade Wonk
Editor:Lis
0 Comments